Ogan Komering Ilir, JNN.co.id – Sengketa lahan di Desa Sukapulih, Kecamatan Pedamaran, Kabupaten Ogan Komering Ilir (OKI), mengungkap potensi penyalahgunaan wewenang dan pelanggaran hukum yang berujung pada melemahnya kepercayaan publik terhadap pemerintahan desa.
Masalah ini bermula dari penerbitan Surat Pernyataan Hak (SPH) yang diduga cacat hukum oleh Kepala Desa (Kades) Sukapulih, atas sebidang tanah yang secara hukum telah menjadi milik Fatoni, berdasarkan sertifikat hak milik (SHM). Merasa dirugikan, Fatoni bersama Ormas Serikat Pemuda dan Masyarakat Sumatera Selatan (SPM Sumsel) mendesak aparat penegak hukum untuk melakukan investigasi menyeluruh dan menegakkan hukum secara adil.
Fatoni Bantah Keterlibatan: “Saya Tidak Pernah Menyetujui!”
Dalam konferensi pers yang digelar di kediamannya pada Senin, 17 Maret 2025, pukul 14.30 WIB, Fatoni menegaskan bahwa dirinya tidak pernah terlibat dalam proses penerbitan SPH tersebut.
“Saya tidak pernah dihubungi, dimintai persetujuan, atau diminta tanda tangan, baik oleh aparat desa maupun oleh pihak yang mengklaim sebagai pemegang hak dalam SPH tersebut,” ujar Fatoni.
Fatoni juga menegaskan bahwa klaim kepemilikan dalam SPH tersebut tidak sah, menguatkan dugaan bahwa prosedur administrasi telah diselewengkan. Lebih jauh, saudara kandungnya, Yahya, mengungkapkan bahwa tanah yang sudah bersertifikat atas nama Fatoni justru telah dibangun oleh warga lain tanpa sepengetahuan mereka.
“Tanah kami bersertifikat, tapi tiba-tiba sudah dibangun oleh orang lain tanpa izin. Ini jelas-jelas pelanggaran hukum!” tegas Yahya.
Kades Berkilah, Klarifikasi Dinilai Lemah
Menanggapi tuduhan ini, Kades Sukapulih memberikan klarifikasi kepada Koordinator Aksi SPM Sumsel, Yovi Meitaha, melalui pesan WhatsApp. Namun, klarifikasi tersebut dinilai tidak memuaskan dan hanya upaya pembelaan diri.
“Kades beralasan bahwa lokasi tanah dalam SPH berbeda dengan tanah Fatoni yang bersertifikat. Namun, argumen ini lemah dan tidak berdasar. Ini menunjukkan rendahnya transparansi dan akuntabilitas pemerintahan desa,” ungkap Yovi dalam keterangannya di depan SPBU Celika Kayuagung.
Meski demikian, dalam perkembangan terbaru, Kades menyatakan kesediaannya untuk mencabut SPH jika terbukti bahwa tanah dalam dokumen tersebut memang berada di lokasi yang sama dengan tanah Fatoni.
Diduga Langgar Regulasi Pertanahan, Kades Bisa Dijerat Hukum
Jika dugaan ini terbukti, tindakan Kades Sukapulih berpotensi melanggar sejumlah regulasi pertanahan, antara lain:
1. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (UUPA), yang mengatur kepastian hukum atas kepemilikan tanah.
2. Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah, yang mengatur proses sertifikasi dan pendaftaran hak atas tanah.
3. Peraturan Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala BPN Nomor 1 Tahun 2016, yang menegaskan standar operasional prosedur dalam pendaftaran tanah untuk mencegah konflik dan sengketa agraria.
SPM Sumsel Desak APH Bertindak: “Ini Bukan Sekadar Administrasi, Ini Dugaan Tindak Pidana!”
SPM Sumsel dengan tegas meminta Aparat Penegak Hukum (APH) untuk turun tangan dan menindaklanjuti dugaan penyalahgunaan wewenang ini.
“Ini bukan sekadar kesalahan administrasi, tetapi dugaan tindak pidana yang merugikan warga dan merusak kepercayaan masyarakat terhadap pemerintah desa. Kami menuntut agar kasus ini diusut tuntas dan pelakunya dihukum sesuai hukum!” tegas Yovi.
SPM Sumsel juga mendesak Pemerintah Kabupaten OKI dan instansi terkait untuk tidak melindungi oknum yang terlibat dalam dugaan pelanggaran ini. Hingga saat ini, konfirmasi yang diajukan kepada Camat Pedamaran pada Selasa, 18 Maret 2025, masih belum mendapat tanggapan resmi.
Ancaman Konflik Agraria dan Kepercayaan Publik yang Tergerus
Kasus ini bukan hanya sekadar sengketa tanah, tetapi juga menjadi cerminan rapuhnya sistem administrasi pertanahan dan rendahnya integritas pemerintahan desa. Jika tidak ditangani dengan serius, permasalahan ini dapat memicu konflik agraria berkepanjangan dan menurunkan kepercayaan masyarakat terhadap aparat desa.
SPM Sumsel menegaskan komitmennya untuk terus mengawal kasus ini hingga keadilan benar-benar ditegakkan.
Akankah kasus ini berakhir dengan keadilan atau justru menjadi contoh buruk lemahnya supremasi hukum di tingkat desa? Publik menunggu jawaban! (Fis/Wis)