Oleh: Fauzi As
Sumenep, JNN.co.id – Terima kasih kepada Mas Hambali Rasidi, sahabat lama, senior dalam dunia pena, dan sesekali juga komedian politik lokal yang kehadirannya selalu ditunggu, seperti sinetron Ramadan yang tak pernah tamat.
Saya membaca tulisan panjang Mas Hambali, lengkap dengan angka, lokasi ngopi, sampai jumlah ikan kakap dan siapa yang bayar gulai. Detailnya bikin iri Laporan Keuangan Negara.
Bahkan KPK pun sepertinya belum sanggup menyaingi akurasi “warung SUN” versi Mas Hambali.
Mas Hambali bilang saya aktor baru. Saya tersanjung. Tapi sayang, sampai sekarang belum ada honor, belum ada bonus, apalagi parsel.
TikTok saya bukan film dokumenter, Mas, itu cuma upaya seorang warga kampung menata benang kusut bernama BSPS yang ditarik-tarik semua pihak sampai nyaris putus.
Saya tidak suci. Tapi saya juga tidak sedang cari panggung. Sebab kalau panggung itu penuh debu, saya lebih suka duduk di emperan warung kopi, sambil dengar pengakuan yang kadang lebih menggelegar dari khutbah Jumat.
Mas Hambali tampak resah, dan gatal, karena saya tidak menyebut nama-nama. Padahal beliau sendiri dalam tulisannya sudah setengah buka, setengah tutup – kayak orang nyari pintu musala subuh-subuh.
Katanya mau terbuka, tapi tetap bisik-bisik: “jangan sebut namanya, saya sudah kantongi datanya.” Lah, kita ini pakai metode jurnalistik atau sedang ikut kompetisi sulap?
Saya disebut membela Rizky Pratama. Padahal saya cuma menyampaikan: jangan jadikan satu orang kambing hitam, sementara serigala yang kenyang masih tepuk tangan di balik tenda acara.
Kadang adil itu bukan soal siapa yang paling lemah, tapi siapa yang paling rakus.
Dan tentang uang kopi Rp 502.500 yang katanya dikirim almarhum, saya tidak tahu, apakah itu bantuan kemanusiaan, subsidi konten, atau memang pesangon supaya kita berhenti ribut? Tapi serius, uang Rp 502.500 itu nominal aneh.
Mungkin biar tidak dikira uang gratifikasi, tapi juga tidak sepenuhnya sumbangan. Itu mirip diskon Alfamart pas akhir bulan.
Saya tidak menyerang wartawan, apalagi yang hidup dari pena dan rekaman suara. Tapi kalau ada wartawan yang doyan merespons kasus bukan dengan tulisan, melainkan dengan rate card, itu beda cerita.
Saya bukan sedang cari dosa orang. Tapi kalau memang kita sama-sama hidup dari “kebenaran,” mari kita jaga ruangnya tetap bersih.
Janganlah kebenaran kita tukar dengan camilan dan bensin pulang liputan.
Mas Hambali, soal tantangan menyebut nama: saya hargai. Tapi saya lebih suka rakyat menyebut sendiri. Sebab dosa publik bukan untuk ditukar dengan dosa personal.
Kalau saya sebut A, nanti B protes. Kalau saya sebut C, nanti D nangis di belakang layar. Biarlah nama-nama itu hidup di benak publik seperti tokoh utama sinetron: selalu muncul, meski belum disebut.
Saya tidak punya niat menjadikan BSPS sebagai panggung sandiwara. Tapi kalau memang kita sedang bermain lakon, mari kita sepakati alurnya: rakyat adalah penonton, hukum adalah sutradara, dan kebenaran adalah naskahnya.
Jangan sampai kita semua hanya jadi figuran yang sibuk rebutan snack di belakang kamera.
Mas Hambali bilang saya paham semua data BSPS, bahkan siapa yang tanda tangan dan siapa yang tidak. Ya benar, saya paham. Tapi saya bukan Tuhan.
Saya hanya penulis, pembelajar, sekaligus rakyat biasa yang percaya bahwa hukum seharusnya berjalan ke atas, bukan cuma ke bawah.
Terakhir, terima kasih atas kritik dan tawa yang Mas Hambali hadirkan. Tulisan jenaka Mas benar-benar menghibur.
Kalau nanti BSPS ini difilmkan, saya usul Mas Hambali jadi penulis skenarionya.
Judulnya bisa kita sepakati: “Uang Kopi dan Dosa yang Dibagi Tiga.” Siap tayang di TikTok, YouTube, dan warung kopi terdekat.
Salam dari saya, yang belum tentu suci dari debu, tapi mencoba tak bergulung dalam lumpur.
“Fauzi As” _Jujurlah, Tapi Jangan Terlalu Serius. Kadang Satir Lebih Sehat dari Surat Panggilan Jaksa._









