Pasar Cinde Palembang: Dari Petilasan Kesultanan, Pusat Perdagangan, hingga Proyek Mangkrak

0
79

Palembang, JNN.co.id – Di tengah hiruk-pikuk Kota Palembang, berdiri kawasan Pasar Cinde yang menyimpan sejarah panjang dan kompleks. Lebih dari sekadar tempat transaksi jual beli, Cinde adalah saksi bisu perjalanan kota ini dari masa Kesultanan Palembang Darussalam hingga modernisasi yang penuh kontroversi.

Jejak Sejarah dari Nama “Cinde”

Menurut pemerhati sejarah Palembang, Rd Muhammad Ikhsan, nama “Cinde” diyakini berasal dari petilasan Pangeran Ario Kesumo Abdulrohim semasa muda, yang bernama Kimas Hindi. Pelafalan “Hindi” dalam aksara Arab Melayu disebut berpotensi berubah menjadi “Cinde.” Petilasan tersebut kini dikenal sebagai makam Sultan Susuhunan Abdurrahman Candi Walang, berlokasi di kawasan Cinde Welang.

Sekitar seratus tahun lalu, kawasan ini merupakan pemakaman luas keluarga bangsawan Palembang. Ikhsan mencatat bahwa setiap zuriat sultan memiliki ungkonan makam tersendiri, baik beratap (gubah) maupun terbuka (jambangan), yang masih bisa ditemukan berdampingan dengan toko-toko modern di sekitar Cinde Welang, Jalan Serelo, Kolonel Atmo, hingga Angsoko.

Dari Pemakaman ke Pasar

Tahun 1916, Pemerintah Kotapraja Gementee Palembang menutup area tersebut sebagai tempat pemakaman. Pemakaman umum baru dibuka di Talang Ilir, Kamboja, dan Puncak Sekuning. Pasar yang berdiri kemudian dikenal sebagai Pasar Lingkis, merujuk pada banyaknya pedagang dari Lingkis (OKI) dan Pemulutan.

Pasar Cinde resmi berdiri tahun 1958 di masa Wali Kota H.M. Ali Amin. Berdasarkan biografi resminya, pembangunan pasar ini diawali pemindahan lokasi dari pasar lama yang kumuh di area Monumen Perjuangan. Prosesnya tak mudah—lahan pasar merupakan tanah warisan keluarga Lim yang masih bersengketa. Pemerintah mengambil alih melalui mekanisme onteigening demi kepentingan umum, meski tanpa persetujuan DPR.

Arsitektur dan Kesalahpahaman

Meski kerap disebut sebagai karya Herman Thomas Karsten, arsitektur Pasar Cinde sesungguhnya dirancang oleh Abikoesno Tjokrosoejoso, mantan konsultan Karsten. Gaya bangunannya mengadopsi model Pasar Johar di Semarang—menggunakan tiang cendawan besar dan ruang terbuka di lantai dua.

“Pasar Cinde bukan karya Karsten. Gaya arsitektur modern itu diterapkan karena Wali Kota Ali Amin menginginkan pasar yang representatif,” ujar Ahmad Ardani dari Ikatan Arsitek Indonesia Sumsel dalam diskusi bertajuk Pasar Cinde: Hikmah Masa Lalu dan Rencana Masa Depan, Juli 2023.

Revitalisasi yang Tertunda dan Kasus Hukum

Wacana modernisasi Pasar Cinde dimulai sejak 2014 dan memicu kontroversi. Komunitas Save Cinde terbentuk pada 2016. Meski sudah ditetapkan sebagai cagar budaya pada 2017, pembongkaran sempat dilakukan. Tahun 2018 proyek mangkrak, dan kontrak Build-Operate-Transfer (BOT) serta Hak Guna Usaha (HGU) dibatalkan tahun 2022.

Pada 2023, proyek ini mulai masuk ke ranah hukum. Kejati Sumsel memeriksa sejumlah tokoh penting, seperti:

Mantan Gubernur Sumsel, Alex Noerdin

Edi Hermanto, eks Ketua Panitia Badan Mitra Pemprov

DW, Manajer Proyek PT BS tahun 2018

Mantan Wali Kota Palembang, Harnojoyo

Mantan Kadis Perkim Sumsel, Basyaruddin

Mantan Kepala BPN Palembang, Edison, kini Bupati Muara Enim

Kasipenkum Kejati Sumsel Vani Eka Yulia Sari menyatakan pemeriksaan dilakukan untuk memperkuat alat bukti dan mengarah pada penetapan tersangka. Tak hanya itu, penyidik juga menggeledah sejumlah instansi, termasuk Dinas Perkim, BPKAD, dan kantor kontraktor proyek.

Ahmad Ardani menyarankan agar pasar ini direkonstruksi dengan pendekatan adaptif. “Cinde harus kembali menjadi pusat ekonomi rakyat, tapi tanpa menghapus nilai historisnya,” ujarnya.

Pasar Cinde menjadi contoh nyata bagaimana sejarah, kepentingan ekonomi, dan tata kelola publik saling berkelindan—menjadi pelajaran penting bagi masa depan perencanaan kota Palembang. (W/Red)

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here