Ogan Komering Ilir, JNN.co.id – Defisit anggaran sebesar Rp560 miliar yang diwariskan pemerintahan sebelumnya menjadi tantangan berat bagi Bupati Ogan Komering Ilir (OKI), Muchendi Mahzareki Supri. Kondisi ini dinilai oleh berbagai kalangan sebagai “kado pahit” yang harus segera diselesaikan demi menjaga stabilitas fiskal dan keberlanjutan pembangunan di Kabupaten OKI.
Sejumlah pihak, mulai dari aktivis, mantan anggota DPRD OKI, hingga pemerhati sosial-politik Sumatera Selatan, mendesak agar pemerintahan Muchendi mengambil langkah konkret dan berani untuk menyelamatkan keuangan daerah. Salah satu solusi yang didorong adalah audit forensik terhadap penggunaan anggaran sebelumnya.
Audit Forensik sebagai Langkah Transparansi
Salim Kosim, S.IP., dari Pusat Riset Kebijakan Publik dan Pelayanan Masyarakat (PRISMA) Sumatera Selatan, menilai bahwa defisit anggaran ini merupakan dampak dari pembangunan yang dipaksakan tanpa mempertimbangkan kapasitas fiskal daerah.
“Ini terjadi karena besar pasak daripada tiang,” ujar Salim saat dihubungi wartawan, Senin (17/3).
Ia juga menyoroti target Pendapatan Asli Daerah (PAD) yang tidak realistis dan tidak tercapai. Oleh karena itu, ia menilai audit forensik menjadi langkah penting untuk mengungkap kemungkinan penyimpangan dalam pengelolaan anggaran sebelumnya.
“Harus ada keberanian mengambil langkah politik yang mungkin tidak populer di kalangan pejabat. Tapi ini penting demi kepentingan masyarakat OKI ke depan,” tegasnya.
Belanja yang Berlebihan dan Tumpang Tindih
Senada dengan Salim, Edison Aslan, mantan anggota DPRD OKI periode 2004–2009, menilai defisit ini terjadi akibat lemahnya kontrol terhadap pengelolaan keuangan di pemerintahan sebelumnya. Ia menyoroti sejumlah pengeluaran yang dinilainya tidak efektif, seperti anggaran kendaraan dinas (mobdin) yang berlebihan.
“Misalnya, tiap tahun selalu ada penganggaran mobdin. Jika satu OPD menganggarkan satu mobil dinas seharga Rp400 juta, bayangkan jika ada lima dinas yang mengajukan. Berapa banyak uang daerah yang habis hanya untuk itu?” ungkap Edison.
Selain itu, ia juga menyoroti pengadaan barang yang terkesan tumpang tindih, seperti pengadaan pendingin ruangan (AC) dengan dua rekening berbeda yang total anggarannya mencapai Rp800 juta per tahun.
“Kalau fungsinya sama, kenapa harus double? Ini jelas pemborosan,” katanya.
Perencanaan Anggaran yang Tidak Rasional
Sementara itu, pemerhati sosial-politik Sumatera Selatan, Drs. Iklim Cahya, MM, menilai defisit ini sebagai akibat dari ketidakrasionalan dalam proses perencanaan anggaran, khususnya dalam pembahasan Kebijakan Umum Anggaran dan Prioritas Plafon Anggaran Sementara (KUA-PPAS).
“Ini menunjukkan kemungkinan pihak Banggar DPRD tidak membahasnya secara teliti. Prediksi dan kalkulasi pendapatan juga tidak akurat, baik dari pusat maupun PAD,” ungkap Iklim.
Menurutnya, defisit sebesar Rp560 miliar mencerminkan kurangnya ketelitian dari Tim Anggaran Pemerintah Daerah (TAPD) dan Badan Anggaran DPRD.
“Defisit yang kemudian menjadi utang daerah ini jelas akan menyulitkan pemerintahan baru Muchendi-Supriyanto. Apalagi saat ini ada kebijakan efisiensi,” ujarnya.
Iklim juga mendorong agar dilakukan audit khusus terhadap anggaran tersebut.
“Jika hasil audit menemukan ketidaksesuaian, terutama terkait kualitas proyek yang tidak sepadan dengan anggaran, maka pemerintahan Muchendi-Supriyanto sebaiknya hanya membayar sesuai dengan hasil audit tersebut,” pungkasnya. (Fis/Wis)