ASW: Prabowo Subianto itu Soekarno Jilid II, Ketika Seorang Bapak Bangsa Kembali

0
262

 

Penulis:
Ahmad Sofyan Wahid
(Wakil Ketua Umum DPP KNPI)

Jakarta, JNN.co.id – ( 8 September 2025) Sejarah selalu memiliki cara yang aneh dalam memanggil kembali arketipe lama. Terkadang ia seperti gema yang datang dari jurang terdalam, kadang ia seperti bayangan panjang di dinding senja. Delapan dekade setelah Proklamasi, Indonesia kembali melihat sosok yang mengingatkan pada Soekarno dengan gestur tegas, retorika yang menggugah, dan obsesi pada kedaulatan bangsa. Bagi sebagian, Prabowo Subianto bukan sekadar presiden ia adalah reinkarnasi politik dari api lama yang menolak padam.

Namun, apakah benar sejarah mengulang dirinya? Atau kita yang terlalu rindu akan figur yang mampu memadukan nasionalisme dengan pesona karisma? Pertanyaan ini meluncur di benak kolektif, seakan bangsa ini masih mencari seorang ayah politik setelah 80 tahun berjalan di jalan terjal modernitas.

Prabowo hadir bukan dari ruang kosong. Ia datang setelah perjalanan panjang di dunia militer, pecundang politik dalam empat kali kontestasi, lalu kebangkitan sebagai presiden terpilih dengan dukungan rakyat terbanyak.
Garis keras yang dulu melekat kini dipoles dengan citra hangat “gemoy”, kata generasi muda yang melihatnya menari di TikTok. Kontradiksi ini membuatnya sekaligus dekat dan jauh, nyata sekaligus mitos.

Seperti Soekarno, ia berbicara dengan diksi penuh emosi. Namun berbeda dari Soekarno yang menghadapi kolonialisme langsung, Prabowo berhadapan dengan bentuk kolonialisme baru seperti ketergantungan pangan, dominasi digital, dan jerat geopolitik global. Lawannya bukan serdadu Belanda, melainkan algoritma pasar dan tekanan diplomasi.

Fakta elektoral memperkuat narasi ini dengan 58,6% suara sah rakyat dalam Pilpres 2024, legitimasi terbesar sejak reformasi. Dari angka itu lahir mandat yang lebih dari sekadar kemenangan ia adalah kontrak kepercayaan, meski selalu dibayangi skeptisisme dari mereka yang mengingat masa lalunya.

Kebijakan pertama yang menyita perhatian publik adalah makan bergizi gratis. Program ini bukan sekadar soal menu di piring anak sekolah tapi ia adalah metafora tentang regenerasi bangsa. Dalam tubuh anak-anak, negara mencoba menulis ulang masa depan.

Namun, seperti biasa, pertanyaan publik lebih tajam dari pada retorika yakni apakah APBN cukup? Apakah birokrasi mampu menyalurkan tanpa bocor? Sejarah memberi pelajaran, Soekarno jatuh bukan karena kehilangan karisma, melainkan karena ekonomi yang terpuruk. Prabowo tentu mengerti itu. Stabilitas harga dengan inflasi terkendali di kisaran 2,31% memberi ruang manuver. Tetapi ruang ini bisa cepat menutup bila kebijakan tak terukur.

Pertumbuhan ekonomi 4,8% pada kuartal awal 2025 memberi sinyal positif. Namun dalam kacamata lain angka hanyalah permukaan. Apakah pertumbuhan itu menjawab ketidakadilan? Apakah ia merata ke pelosok atau hanya berputar di pusat kota? Inilah ujian paling sulit, bukan sekadar menumbuhkan, tapi soal mendistribusikan.

Demokrasi dewasa menuntut keberanian menghadapi masa lalu, bukan menutupinya. Soekarno menulis sejarah dengan keberanian melawan kolonial, Prabowo Subianto diuji keberaniannya untuk menghadapi masalah yang melilit bangsa dan negerinya.

Narasi besar selalu membutuhkan panggung luar negeri. Soekarno membangun Poros Jakarta–Beograd–Kairo. Prabowo kini menari di antara Washington, Beijing, dan Moskow, dengan semboyan “bebas aktif” yang harus diartikan ulang. Di abad ke-21, bebas aktif bukan lagi soal netralitas, melainkan soal kecepatan membaca peluang.

Dalam geopolitik Indo-Pasifik, Indonesia bukan lagi penonton. Ia harus menjadi poros. Dan di sini, karakter Prabowo sebagai jenderal berjumpa dengan kebutuhan bangsa akan kepemimpinan yang tidak takut pada ketegangan.

Tetapi kepemimpinan bukan hanya tentang diplomasi keras. Ia juga tentang sensitivitas pada rakyat kecil. Stunting 21,5% di tahun 2023 menjadi cermin keras bahwa bangsa ini masih gagal memenuhi hak biologis anak-anaknya. Tak ada nasionalisme yang kuat di atas tubuh yang lemah.

Kabinet Prabowo, yang disebut paling gemuk sejak 1966, menandakan keinginan untuk merangkul semua. Namun setiap tangan yang dirangkul berarti juga potensi konflik kepentingan. Soekarno pun dulu jatuh dalam jebakan sama semakin banyak dirangkul, semakin sulit mengendalikan.

Pembangunan IKN menjadi proyek simbolik yang akan menentukan apakah kepemimpinan ini hanya tentang retorika atau tentang warisan nyata. IKN adalah uji kesabaran, uji logistik, dan uji disiplin fiskal.

Di dalam negeri, Prabowo memakai wajah ganda yakni nasionalis tegas di podium, ayah gemoy di layar TikTok. Strategi ini efektif untuk menjangkau generasi Z, tetapi berisiko menciptakan pemimpin yang lebih viral dari pada substantif. Di sini, bangsa Indonesia diuji apakah memilih karisma, atau mendesak kebijakan konkret.

Ada ironi yang sulit dilepaskan, apa itu Soekarno dulu menolak imperialisme Barat, kini Prabowo harus merayu investor Barat untuk menanam modal. Nasionalisme bertemu kapitalisme, dalam panggung yang tak bisa dihindari.

Namun karisma Prabowo tak bisa disangkal. Di mata rakyat, ia hadir sebagai figur “bapak bangsa” yang baru, sosok yang mampu marah, tertawa, sekaligus berjanji dengan gaya retorikanya sendiri. Karisma ini bukan sekadar strategi ia adalah kebutuhan psikologis masyarakat yang lelah pada teknokrasi dingin.
Di setiap orasi, tercium aroma historis.

Kalimat-kalimatnya kadang mengingatkan pada Soekarno yang berkata “berdiri di atas kaki sendiri”. Kini, Prabowo menyebut kedaulatan pangan, kedaulatan energi, kedaulatan digital. Metafora lama diremajakan dengan konteks baru.

Tetapi sejarah memberi satu peringatan karisma, tanpa manajemen berakhir dalam kekacauan. Prabowo harus membuktikan dirinya bukan hanya pewaris retorika, tetapi juga arsitek kebijakan.

Masyarakat sipil menuntut akuntabilitas. Investor menuntut kepastian hukum. Dan rakyat kecil menuntut harga beras yang stabil. Semua tekanan itu bertemu dalam satu kursi kepresidenan. Jika Soekarno adalah orator revolusi, maka Prabowo harus menjadi teknokrat karismatik. Perbedaan zaman memaksa transformasi. Retorika saja tidak cukup.

Namun, di titik inilah muncul harapan. Bahwa mungkin, untuk pertama kalinya sejak lama, Indonesia menemukan pemimpin yang mengerti bahasa rakyat sekaligus bahasa elit global.
Prabowo seperti berdiri di jembatan panjang sejarah di satu sisi bayangan Soekarno, di sisi lain tuntutan abad digital. Langkah yang salah bisa meruntuhkan jembatan itu, tetapi langkah yang tepat bisa membawanya menjadi ikon baru sejarah.

Penulis nenyebutnya “Soekarno jilid dua” mungkin terlalu sederhana. Ia bukan sekadar jilid, melainkan varian baru dari narasi panjang bangsa ini dari kolonialisme, revolusi, otoritarianisme, hingga demokrasi yang terus mencari bentuk.

Akhirnya, bangsa ini tidak butuh replika Soekarno, tetapi pemimpin yang berani berdiri di cermin sejarah dan berkata “Aku belajar dari masa lalu, tapi aku menulis masa depan.” Jika Prabowo mampu melakukannya, ia bukan hanya bayangan Soekarno, melainkan babak baru dalam kitab panjang Negara Kesatuan Republik Indonesia.(Pendim 0827/Sumenep)

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here