Jeritan Sunyi di Ciganjur – Jagakarsa, Ojol Akhiri Hidupnya, Luka Mental Indonesia yang Terabaikan

0
1619

Jakarta, JNN.co.id – Satu tragedi kembali mengguncang. Seorang bapak berinisial JN (54), suami, ayah dari lima anak, dikenal ramah dan taat beribadah, ditemukan tewas gantung diri setelah cekcok dengan istri pada dini hari. Ia bukan sekadar kisah individu, JN adalah refleksi dari sakit mental yang dibiarkan membusuk, lalu meledak dalam keputusasaan. Tempat Kejadian Di Jalan Rm. Kahfi I, Gg. Kopo, Kelurahan Ciganjur, Jagakarsa, Jakarta Selatan, DKI Jakarta pada Rabu, Pukul 05.00 WIB (1/10/2025).

Korban, menurut Ahmad Syarullah, anggota FKDM dan Bimas korban JN pernah menunjukkan gejala yang disinyalir gangguan bipolar atau depresi mayor dengan episode psikotik di saat “kambuh”, berjalan kaki berkilometer, di saat “waras” bekerja sebagai driver ojol (Gojek). Semua gambaran itu bukan hanya ilustrasi pribadi, melainkan potret dari masalah mental yang kerap dianggap “gila” oleh awam, dipoloskan, atau diabaikan, paparnya

Berdasarkan catatan Polri (melalui DORS SOPS), sepanjang Januari–Agustus 2024, tercatat 928 kasus bunuh diri di seluruh Indonesia.

Sebagian besar korban adalah laki-laki (≈ 76,94 %), dan motif utama bunuh diri adalah tekanan ekonomi (31,79 %), disusul motif sosial dan faktor internal lainnya.

Pelaku usia 26–45 tahun mendominasi kasus. Laki-laki lebih banyak melakukan tindakan tersebut dibanding perempuan, dalam berbagai rentang umur.

Ekonomi menjadi alasan paling umum, diikuti masalah sosial dan “dolus/sengaja” (motivasi yang lebih kompleks, termasuk konflik interpersonal, stres psikis, kesepian, rasa putus asa) Lokasi paling sering adalah pemukiman orang-rumah.

Kasus yang tercatat jauh lebih sedikit dibanding realitas. Komunitas seperti Into The Light Indonesia menyebut bahwa data resmi hanyalah “puncak gunung es” karena stigma terhadap bunuh diri sangat kuat. Banyak keluarga menyembunyikan fakta, atau bahkan kejadian tidak dilaporkan ke polisi.

Di samping itu, fasilitas kesehatan jiwa di Indonesia masih minim, distribusinya tidak merata, tenaga profesional (psikiater, psikolog) tidak cukup, dan layanan mental health masih dianggap sekunder.

Perbandingan Tahun ke Tahun

– Tahun 2019 tercatat sekitar 230 kasus, melonjak ke 640 pada 2020.

– Tahun 2022: 902 kasus, tahun 2023: 1.226 kasus berdasarkan data Polri hingga 15 Desember.

– Tahun 2024 menunjukkan angka terus mendaki, hampir 1.000 kasus dalam 9 bulan pertama dan laporan motif ekonomi yang semakin mencuat.

Analisis: Hubungan Kasus Ciganjur & Pola Nasional

Kasus JN sangat sesuai dengan pola nasional

Motif ekonomi: Konflik rumah tangga sering diperparah oleh tekanan keuangan dalam kisah JN, fakta bahwa anak-anak sudah bekerja, tapi tetap ada beban keluarga besar, menggambarkan tekanan terus-menerus.

• Gangguan mental yang lama tak terkelola: Gejala sebelumnya—“kambuh”, isolasi, berubah-ubah fungsi sosial (kadang normal, kadang terganggu) ini persis gambaran kasus psikologis berat seperti bipolar atau depresi berat dengan psikotik.

• Stigma & akses layanan: Disebut orang awam “gila” dan kemungkinan tak mendapat pengobatan atau intervensi yang tepat dan berkelanjutan.

Inilah kenyataan yang tak bisa lagi kita abaikan, setidaknya 3 orang melakukan bunuh diri setiap hari di Indonesia. Banyak yang akhirnya meyakini bahwa sakit mental adalah beban yang tak terlihat, sebuah luka yang merembes di hati hingga tak terselamatkan sebelum keputusan terakhir diambil.
Kasus seperti JN bukan hanya soal konflik rumah tangga atau kondisi sosial, melainkan puncak gunung es dari rongga psikologis yang lebih dalam yakni kemiskinan, isolasi, stres, harapan yang rapuh.

Rekomendasi Preventif & Seruan Aksi

• Penguatan layanan kesehatan mental secara menyeluruh: lebih banyak pusat kesehatan mental, psikiater, psikolog lokal, dan dukungan BPJS untuk kondisi jiwa.

• Program intervensi dini: deteksi gejala gangguan mental di masyarakat dan keluarga, sekolah, komunitas musholla/masjid, tempat kerja.

• Pelayanan krisis 24/7: hotline tepercaya, call center respons cepat, dukungan langsung saat krisis.

• Edukasi & destigmatisasi: bahwa sakit mental bukan aib, bukan “orang gila”, tapi kondisi medis yang perlu empati dan pengobatan.

• Kebijakan pemerintah & anggaran: alokasi sumber daya yang nyata untuk kesehatan mental, tidak hanya retorika.

Kesimpulan
Tragedi Ciganjur – Jagakarsa bukan sekadar berita pilu ia adalah alarm keras yang menuntut kebijakan dan kemanusiaan. Ketika seorang pria yang ramah, rajin ibadah, yang bekerja keras sebagai ojol di saat waras, akhirnya putus asa oleh sakit fisik dan mental yang lama tak tertolong, kita semua harus berhenti dan bertanya Apa lagi harus ditunggu?

Mental yang sakit tak kunjung sembuh bisa menjadi bom waktu. Kasus JN dan angka statistik 2024–2025 menunjukkan bahwa bom itu terus berdetak di setiap rumah, di setiap hati yang menderita. Stop bungkam, sekarang waktunya mendengarkan, merawat, dan bertindak.

Kejadian yang menimpa JN terjadi karena gangguan bipolar dan depresi mayor dengan episode psikotik atau fitur campuran. Namun penting ditekankan lagi ini bukan diagnosis.

Berdasarkan kisah diatas ini adalah penderitaan mental yang nyata dan mendalam yang mencapai titik dimana ia merasa tidak ada jalan keluar karena sakit yang tak kunjung sembuh. Bunuh diri adalah hasil yang tragis dari kondisi kesehatan mental yang tidak ditangani atau tidak mendapat pengobatan yang memadai.(ASW)

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here