JNN.co.id – Dalam kehidupan sehari-hari seringkali terjadi berbagai fenomena yang menyimpang dari nilai-nilai ajaran Islam, seperti pergaulan bebas, kriminalitas, pelecehan seksual, pertengkaran sesama manusia, dan lain sebagainya. Apabila kasus tersebut dilakukan oleh kalangan umat muslim yang dipandang berpendidikan akan tampak sangat memprihatinkan.
Umat Islam seharusnya menunjukkan perilaku yang sesuai dengan ajaran agama Islam, yaitu Aqidah, Ibadah, dan akhlak sebagai acuan kehidupan sehari-hari dalam berperilaku baik sebagai individu, keluarga, masyarakat, maupun dalam berwarga negara. Setiap pribadi muslim dianjurkan untuk dapat memegang tiga nilai keagamaan, yaitu: Pertama, nilai aqidah yang berkaitan dengan keimanan. Kedua, nilai ibadah yang sangat erat dengan ritual dan amalan amaliah. Ketiga, nilai akhlak yang berkaitan dengan perilaku dalam kehidupan sehari-hari. Nilai-nilai keagaman ini perlu dan sangat penting ditanamkan pada diri anak, sebab dalam proses tumbuh kembang anak haruslah diimbangi dengan pendidikan agama (Raharjo, 2012:4).
Kenyataannya masih banyak kejadian di Indonesia yang memilukan bahkan sudah tidak manusiawi, seperti halnya kejadian pada tanggal 1 Oktober 2022, terjadi kerusuhan pasca pertandingan sepak bola Liga 1 antara Arema FC vs Persebaya di Stadion Kanjuruhan Malang yang menimbulkan korban sebanyak 712 orang, dengan rincian 132 orang meninggal dunia, 96 orang luka berat, dan 484 orang luka ringan/sedang (CNN Indonesia, 2022: 13 Oktober), dan juga banyaknya kejadian kekerasan seksual yang berdasarkan laporan Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Santri (KemenPPPA), bahwa ada 797 santri yang menjadi korban kekerasan seksual sepanjang Januari 2022. Jumlah tersebut setara dengan 9,13 persen dari total santri korban kekerasan seksual pada tahun 2021 lalu yang mencapai 8.730. Data tersebut berasal dari laporan yang didapatkan dari Sistem Informasi Online Perlindungan Perempuan dan Santri (Simfoni PPA) (Fauzia, 2022).
Belajar dari sejarah masyarakat Islam sejak zaman Nabi, penanaman nilai-nilai keislaman merupakan kunci utama peradaban yang berkemajuan. Al-Qur’an dan Hadist sebagai sumber ajaran Islam telah mengajarkan bagaimana menjadi pribadi yang baik dan mencapai kemajuan hidup, termasuk meraih kesejahteraan baik secara individu maupun sosial. Maka dari itu anak-anak harus sejak kecil diberikan pemahaman dan penanaman nilai-nilai keislaman melalui pengalaman hidup dalam lingkungannya. Semakin banyak pengalaman yang bersifat islami, tentu akan menambah unsur kepribadian yang membentuk sikap dan perilaku yang sesuai dengan ajaran Islam.
Erosi nilai-nilai keagamaan dan moral pada anak, yang diperparah oleh modernisasi dan disrupsi digital, menimbulkan kekhawatiran atas melemahnya peran keluarga sebagai agen utama pendidikan Islam.
Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis tindakan sosial orang tua dalam menanamkan nilai-nilai keislaman pada anak dalam konteks sosio-kultural Desa Karduluk, Kabupaten Sumenep, Indonesia. Dengan menggunakan pendekatan kualitatif yang berlandaskan teori tindakan sosial Max Weber, data dikumpulkan melalui observasi partisipan, wawancara mendalam, dan analisis dokumen terhadap sepuluh keluarga, tokoh agama, dan pendidik.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa orang tua menerapkan empat tipe tindakan diantaranya tindakan sosial—tradisional, rasional-bernilai, afektif, dan rasional-instrumental—dalam mentransmisikan nilai aqidah, ibadah, dan akhlak kepada anak.
Tindakan tradisional dan afektif mendominasi proses pewarisan nilai lintas generasi, sedangkan tindakan rasional-bernilai dan rasional-instrumental merefleksikan strategi adaptif untuk mempertahankan ketahanan religius di tengah tantangan sosial-ekonomi dan paparan digital. Sinergi antara keluarga, lembaga keagamaan (langgar dan madrasah diniyah), serta struktur sosial lokal memperkuat keberlanjutan nilai keislaman dan kohesi sosial di komunitas pedesaan.
Studi ini memberikan kontribusi pada diskursus sosialisasi keagamaan dan keberlanjutan budaya dengan menunjukkan bagaimana komunitas tradisional mampu menegosiasikan transformasi modern secara pragmatis sambil menjaga fondasi moralnya.
Saran dari hasil penelitian adalah bagi pemangku kebijakan atau pemerintah hendaknya tidak terlalu terpukau dengan nilai-nilai atau konsep-konsep yang lahir di dunia Barat. Masih sangat banyak nilai-nilai dan pemikiran yang ada di tubuh Nusantara, yang tentu saja terdapat kesesuaian dengan kultur dan kepribadian bangsa Indonesia. Maka hendaknya dapat melahirkan kebijakan yang meprioritaskan penelitian-penelitian yang difokuskan pada local wisdom dalam segala perspektifnya.
***
*) Oleh : Imalah, Mahasiswa program Doktor Sosiologi Universitas Muhammadiyah Malang.
*)Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggung jawab penulis, tidak menjadi tanggung jawab redaksi JNN.co.id