Oleh: Ainur Rahman
Sumenep, JNN.co.id – Beberapa hari terakhir, saya mengikuti diskusi sengit antara Mas Hambali dan Fauzi AS mengenai isu BSPS. Sebuah kontras yang mencolok terkuak di hadapan publik: Mas Hambali memilih jalan merunduk, bahkan mengumbar “aib” dirinya ke muka umum, seolah siap dihina. Di sisi lain, Fauzi AS, dengan gigih mempertahankan citranya sebagai pejuang kebenaran, bahkan sampai menantang sayembara berhadiah Rp 100 juta bagi siapa saja yang mampu membuktikan keterlibatannya dalam aliran dana BSPS.
Sikap Mas Hambali sungguh berbeda. Bukan hal mudah menemukan seseorang yang berani membuat pengakuan publik, siap menanggung cercaan. Bahkan, banyak rekan seprofesi dan yuniornya menyalahkan pilihan Mas Hambali ini. Padahal, ia sama sekali tidak termasuk dalam lingkaran besar yang disebut Kiki, Korkab.
Rasa penasaran mendorong saya bertanya langsung pada Mas Hambali: Apa yang memotivasinya melakukan ini? Jawabannya sederhana, namun menusuk: “Saya lebih senang dihina, daripada dipuja-puja.”
Ia melanjutkan dengan senyum tipis, “Orang-orang sudah mengerti. Kalau wartawan dan LSM atau aktivis, kerjaannya sering berbau uang. Tanpa perlu berbohong, mereka sudah paham.” Sebuah kejujuran yang telanjang, yang hanya bisa diucapkan oleh jiwa yang merdeka.
Dari Mas Hambali, saya belajar banyak hal. Ia sering berbagi kisah tentang kesempatan miliaran rupiah yang luput dari genggamannya. Seandainya ia mau dan bersedia, mungkin namanya kini sudah terpampang dalam daftar kekayaan yang disita KPK. Saya tahu betul bagaimana kedekatannya dengan Ketua Gerindra Jatim, sebuah akses yang bisa membuka gerbang kekayaan instan. Namun, ia memilih jalan lain.
Mas Hambali, sang wartawan senior Jawa Pos Group, sering terlihat dengan penampilan sederhana: kaos, bersepeda listrik, bahkan pernah berkeliling membawa tape, katanya berjualan. Ketika saya tanya motivasinya berjualan tape, ia hanya menjawab, “Iseng saja.” Dan benar, tape itu kadang dibagikan cuma-cuma di warung SUN. Sebuah keisengan yang memancarkan kerendahan hati.
Di tengah hiruk pikuk kehidupan, ada sosok yang menonjol dengan keunikan dan kontras yang memukau – Mas Hambali Rasidi, teman seperjalanan yang tak pernah membosankan. Kadang menjengkelkan, menggemaskan, dan membingungkan, dia selalu membuat saya terus menerka apa yang ada di balik senyumannya.
Namun, di saat ia berbicara serius, kata-katanya mengalir seperti air zam-zam, membawa nasihat dan ilmu yang berharga, layaknya seorang ulama yang bijak. Hambali bukan hanya sekadar teman, dia adalah contoh nyata dari multi-dimensionalitas manusia. Di balik penampilan yang kadang dinilai biasa, tersimpan kebijaksanaan dan kedalaman ilmu yang luar biasa.
Ia mengingatkan kita bahwa setiap orang memiliki banyak sisi, dan bahwa kebijaksanaan sejati seringkali tersembunyi di balik topeng yang tidak biasa.
“Kenapa kita mendapatkan kontrak kerja kecil? Mungkin ini cara Allah menyelamatkan kita,” ucap Mas Hambali semalam. Sebuah kalimat penutup yang merangkum keseluruhan filosofi hidupnya: menerima, bersyukur, dan memahami bahwa setiap takdir, sekecil apa pun, adalah bagian dari rencana besar yang lebih baik.(**)









