Menyesal Mendukung Prabowo 

0
604

Oleh: Fauzi As

JNN.co.id – Saya hanya seorang pemuda kampung. Tak punya kartu partai, tak ikut deklarasi politik, dan tak pernah hadir dalam acara relawan.

Tapi saya tidak pernah absen memilih Prabowo Subianto selama empat periode pemilu terakhir. Bukan karena iming-iming uang, bukan karena takut, tapi karena keyakinan.

Saya percaya, suara dari kampung ini, sekecil apa pun masih bisa berarti bagi republik. Di tempat kami, pilihan politik bukan sekadar formalitas lima menit di bilik suara. Ia bisa berujung petaka.

Dalam Pilpres 2024 Rumah kami pernah dibakar hanya karena beda pilihan. Polisi pun angkat tangan. Katanya, “tidak cukup bukti.”

Kami tetap memilih, dengan harapan, bahwa Prabowo akan membawa arah baru, arah yang lebih berani, lebih bersih, dan lebih tegas.

Kini beliau telah menjadi Presiden. Kami bersyukur. Kami bangga. Karena kami tahu, tidak mudah sampai ke sana.

Tapi dari kampung ini, saya melihat dengan cemas: Prabowo seperti mendorong lokomotif uap tua – Wales Stoom sendirian. Mesinnya kotor, banyak bagian karatan.

Jalanannya memang mulai rata, tapi berat, lambat. Karena orang-orang di sekelilingnya justru menjadi beban, bukan pelumas.

Saya tetap percaya kepada beliau. Tapi saya mulai khawatir: apakah presiden kita ini dibiarkan jalan sendiri?

Apakah orang-orang yang datang ke sekelilingnya membawa semangat yang sama?

Atau sekadar menumpang kursi dan proyek?

Saya teringat cerita dari Fauka Noor Farid, mantan anggota Tim Mawar Kopassus. Dalam salah satu podcast, ia membongkar isi surat Prabowo pada tahun 1998: “Kalau memang harus ada korban, korbankanlah Prabowo Subianto.

Jangan korbankan Kopassus dan TNI.” Itu bukan suara seorang politisi. Itu suara seorang prajurit. Dan saya yakin, semangat itu masih hidup dalam diri Prabowo hari ini.
Tapi semangat saja tidak cukup.

Negara ini tidak bisa dibenahi sendirian. Presiden bisa mengangkat siapa pun, baik junior maupun senior. Tapi mereka harus berkapasitas, loyal pada rakyat, bukan hanya pada relasi pribadi. Pemerintahan adalah komando, bukan arisan dan irisan jabatan.

Kalau Presiden memilih junior, pilihlah yang matang dan ahli. Kalau memilih senior, pilihlah yang jernih dan bersih.

Jangan ada misi di luar misi presiden. Jangan ada penumpang gelap dalam lokomotif republik. Kalau benar ingin perubahan, maka tertibkan tambang bukan untuk lingkaran elite, tapi untuk kepentingan negara.

Ungkap kasus korupsi bukan untuk sekadar ganti pemain, tapi untuk bersihkan sistem.

Bantu petani tembakau melawan kartel, bukan lindungi mafia impor.

Kami bisa bersabar soal infrastruktur. Kami bisa tahan tanpa bansos. Tapi kami tidak tahan jika keadilan hanya jadi kata-kata manis di spanduk.

Kami tidak tahan melihat Pak Prabowo yang kami percaya sebagai singa di tengah medan, kini dikelilingi oleh kucing-kucing yang mengeong demi jabatan.

Presiden Prabowo, jalan terus. Tapi bersihkan lokomotifnya. Jangan biarkan mesin kebaikan ini disabotase oleh penumpang gelap.

Jangan biarkan kecepatan Anda dilambatkan oleh orang-orang yang tidak searah.

Saya tetap percaya 100%, tapi saya akan menyesal 1000% jika ternyata yang memperlambat langkah beliau justru orang-orang yang tidak pernah diseleksi dengan serius.

Negeri ini harus jadi medan juang, bukan ladang transaksi.

Dan saya mohon, pikirkan juga nasib Madura. Sejak kemerdekaan, data BPS masih menunjukkan Madura sebagai wilayah termiskin di Jawa Timur.

Padahal Madura punya laut yang menyemburkan gas alam dan hasil ikan terbaik, serta bukit-bukit tembakau yang menumbuhkan daun emas “Campalok.”

Satu jenis tembakau yang bisa dihargai hingga Rp5 juta/kg di Guluk-Guluk, Sumenep.

Namun, tak semua petani punya nasib yang sama. Harga bisa berbeda hanya karena beda lokasi. Di sisi off-farm, industri ini menyerap 90 ribu tenaga kerja.

Di sisi on-farm, lebih dari 387 ribu petani dan buruh tani. Di Madura saja, sekitar 95.895 KK bergantung pada tembakau.

Petani dan pengusaha kecil di sektor IHT tak minta istimewa. Mereka hanya minta diberi kesempatan untuk legal dan hidup.

Mereka siap bayar cukai, asal ada relaksasi, penyesuaian tarif, dan akses legal yang manusiawi.

Mereka bukan produsen racun. Mereka penyambung napas bangsa.

Sayangnya, mereka justru ditekan dari dua sisi: kebijakan yang memukul dari atas, dan tengkulak yang menjepit dari bawah.

DBHCHT triliunan rupiah setiap tahun tak pernah benar-benar sampai ke petani. Bahkan dalam pelaksanaannya, lebih sering digunakan untuk pengawasan, bukan pemberdayaan.

Yang mereka harapkan hanya satu: keadilan. Bukan belas kasihan. Negara tak boleh memetik manisnya cukai tanpa berbagi kesejahteraan dari hulunya.

Petani tembakau Madura harus dilibatkan dalam kebijakan, bukan dikorbankan demi narasi kesehatan semu.

Regulasi cukai hari ini, niatnya baik, tiered tax, OSS, razia. Tapi kenyataannya.

• Batas produksi cukai terlalu kecil, UMKM malah takut naik kelas.

• OSS rumit dan tak ramah di desa.

• Razia tak diiringi pendampingan, hanya penindakan.

Apa yang belum diberikan negara?

• Amnesti cukai bagi pelaku kecil.

• Pendampingan nyata dari Pemda.

• Akses pita cukai yang murah dan mudah.

• Branding produk lokal legal agar bisa bersaing.

Bayangkan jika negara benar-benar hadir.

• Ada OSS versi rakyat

• Ada subsidi pita cukai dari DBHCHT

• Ada koperasi tembakau merah putih

• Ada pengakuan bahwa tembakau adalah warisan, bukan musuh publik Pak Presiden!

Kami bukan mafia, kami bukan penyelundup. Kami hanya rakyat kecil yang ingin tetap hidup.

Kami tak minta diistimewakan, kami hanya minta diikutsertakan. Karena kalau dapur kami padam, bukan hanya negara yang kehilangan cukai, tapi negara akan kehilangan kepercayaan rakyatnya.

Dan jika terus begini, asap tak lagi dari rokok, tapi dari dapur rakyat yang terbakar sendiri.

Petani tembakau hanya punya dua pilihan: mati perlahan di ladang, atau mati cepat di hadapan regulasi. Negara ingin cukai, tapi tak mau dengar suara asap.(****)

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here