“Kajian Mendalam, Gajian Tenggelam, CSR Menguap, PI Belum Naik Kepermukaan”

0
41

Oleh: Fauzi As

Sumenep, JNN.co.id – Warga Kepulauan yang Tidak Punya Akses Lobi. Dalam sebuah negara yang katanya demokrasi, suara rakyat kadang dianggap sebagai gema bergaung keras tapi jarang digubris.

Tepatnya kemarin Jumat, 4 Juli 2025, sebuah suara optimisme indah baru saja dikumandangkan oleh Komisi I DPRD.

Melalui media Radar Madura, seorang politisi PAN tampaknya lebih percaya pada kertas kajian ketimbang keluhan rakyat di tepi pantai.

Beliau menyampaikan bahwa kegiatan seismik PT Kangean Energy Indonesia Ltd (KEI) sudah sesuai prosedur. “Sudah melalui kajian mendalam,” katanya dengan penuh percaya diri, seolah-olah kedalaman kajian itu bisa menutup dangkalnya kesejahteraan warga kepulauan.

Sayangnya, publik hari ini tak sedang membahas kajian. Yang mereka ributkan adalah potensi kerusakan alam, gajian yang hanya menguntungkan segelintir orang, CSR yang tak jelas kemana mengalirnya.

PI (Participating Interest) yang sejak dulu katanya sedang diurus, tapi wujudnya tak pernah nyata. Entah tenggelam, atau sengaja ditenggelamkan.

Mari kita bahas satu per satu. Soal kajian. Tentu semua proyek besar, apalagi migas, wajib melalui studi kelayakan, AMDAL, dan sederet regulasi dari pusat hingga daerah.

Tapi apakah kajian itu otomatis menandakan kebaikan bagi rakyat? Kajian akademik bisa disulap seperti sihir. Di atas kertas semuanya hijau dan lestari, di lapangan jangan-jangan warga malah tak bisa panen rumput laut karena limbah dan aktivitas seismik.

Di atas kertas katanya lapangan kerja terbuka, tapi warga hanya kebagian jadi tukang masak untuk kegiatan sosial perusahaan.

Bahkan yang disebut “tenaga lokal” pun kadang hanya nama saja, selebihnya outsourcing dari kota yang bahkan tak tahu jalan ke pulau Kangean dan Masalembu.

Kemudian soal CSR. Ah, inilah dongeng klasik korporasi. Dana tanggung jawab sosial perusahaan yang seharusnya menjadi bentuk balas budi pada lingkungan dan masyarakat terdampak, kadang berubah jadi dana siluman.

Banyak warga bahkan tidak tahu bahwa CSR itu ada, karena bentuknya tak lebih dari satu-dua pelatihan yang tidak berkelanjutan, proyek tambal sulam, atau dana bantuan yang lebih sering dibicarakan di meja lobi hotel.

Bahkan ada yang menyebut, CSR-nya bukan untuk rakyat, tapi untuk tugu keris, untuk menjaga “hubungan baik” dengan para pejabat. Jika benar begitu, CSR sebaiknya diganti namanya menjadi Cukup Sulap Regulasi.

Coba kita tanya satu fakta, dulu Gubernur Jawa Timur, pernah menandatangani kesepakatan bersama terkait penerimaan dan pengelolaan ParticipatingInterest.

PI 10% Wilayah Kerja (WK) minyak dan gas bumi pada North Madura II, Sepanjang dan Pagerungan Utara serta SouthEast Madura di Gedung Negara Grahadi, Surabaya, pada Rabu (22/11) malam.

Sampai hari ini tak ada update. Rakyat diberi mimpi bahwa mereka akan mendapatkan jatah dari hasil produksi migas.

Ya, tapi mimpi tinggal mimpi. PI itu sampai hari ini belum jelas juntrungannya. Pemda Sumenep tak pernah bisa menjelaskan dengan jujur atau mungkin tak tahu sama sekali berapa persen yang sudah masuk, berapa yang hilang dalam kabut birokrasi, dan siapa saja yang mengatur pembagiannya.

Kata warga di Pulau Kangean: “PI itu mirip sinyal BTS di sini, hilang terus.”

Lucunya, saat warga mempertanyakan hal-hal mendasar itu, Mas Hairul malah bilang, “Jangan halangi investasi!” Kalimat sakral yang sering diucapkan pejabat yang malas mendengar rakyat.

Tentu saja kita semua ingin investasi. Karena yang ditolak bukan investasinya, melainkan ketimpangannya. Masa rakyat hanya dijadikan pagar hidup untuk menyambut investor, sementara hasilnya hanya dinikmati oleh elite yang kantornya jauh dari lokasi eksplorasi?

Lebih lucu lagi, Mas Hairul menyarankan agar anak-anak Sumenep belajar eksplorasi migas. Sebuah anjuran yang kedengarannya nasionalis, namun hampa dalam realitas.

Anak-anak masih kesulitan mendapatkan guru tetap. Sekolah di kepulauan masih bolong-bolong, jaringannya lambat, gedungnya nyaris roboh.

Apa yang mau mereka pelajari dari industri migas, sementara informasi tentang gas saja masih dikunci? Jangan-jangan nanti yang diajarkan bukan soal eksplorasi minyak dan gas, tapi eksplorasi “celah-celah kebijakan” untuk memperkaya diri.

Yang lebih getir adalah bagaimana elit birokrasi dan politikus justru bersatu padu dalam menyanyikan lagu investasi.

Pemerintah daerah tidak terdengar memperjuangkan kompensasi nyata. beberapa anggota DPRD justru seperti humas korporasi.

Ketika rakyat meminta kejelasan data dan transparansi, mereka malah menyodorkan narasi bahwa “semua sudah sesuai aturan.” Pertanyaannya: aturan siapa? Rakyat atau rezim investor?

Mas Hairul dan kawan-kawan Komisi I tentu boleh punya pendapat, tapi mohon jangan sebut bahwa ini “untuk kepentingan rakyat.”

Karena kalau benar untuk rakyat, maka rakyat tidak akan terus-terusan menggugat.

Jangan menyamaratakan antara izin dari pemerintah pusat dengan izin sosial dari masyarakat lokal. Mereka punya hak bertanya, hak menuntut, dan hak untuk tidak percaya.

Sebagai penutup, izinkan saya sampaikan satu usulan kecil kepada pemerintah dan DPRD: jika memang semua aktivitas PT KEI ini sudah sesuai kajian, maka buat juga kajian publik yang bisa dibaca dan diakses oleh masyarakat biasa.

Buka data CSR, buka laporan PI, dan buka siapa saja yang selama ini diuntungkan. Jika memang tak ada yang ditutup-tutupi, kenapa takut transparan?

Sebab kalau tidak, jangan salahkan jika suatu saat rakyat mendesak Komisi I untuk segera membentuk Pansus, yang targetnya sederhana: menyelidiki bupati Sumenep ketika di Jakarta ngopi dengan siapa saja?

Rakyat tak lagi ingin mendengar tentang kajian, karena yang mereka lihat hanyalah gajian yang selalu jatuh di tangan yang sama.

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here