Sumenep, JNN.co.id – Sumenep memang unik.
Di tengah gejolak ekonomi rakyat dan keluhan petani tembakau muncullah satu sosok pemimpin yang seolah-olah tahu segalanya.
Tanpa data, tanpa riset. Tiba-tiba mengeluarkan jurus dewa mabuk. Ya, dialah Bupati Sumenep.
Achmad Fauzi Wongsojudo, pendekar ekonomi, teori warung kopi.
Modalnya? Laporan media dan LSM. Entah media apa dan LSM mana yang menjadi pijakan bupati dalam mengambil keputusan.
Baru-baru ini, Bupati dengan penuh semangat mengimbau agar semua perusahaan rokok (PR) di Sumenep segera berproduksi.
Katanya, ini demi pertumbuhan ekonomi, pembukaan lapangan kerja, dan pengentasan kemiskinan. Bahasa yang indah.
Tapi seperti biasa, publik bertanya. Datanya mana, Pak?
Sebab yang kita tahu, pidato Pak Bupati ini lebih mirip hasil rangkuman obrolan di warung kopi belakang kantor kecamatan.
“Bukan hasil evaluasi faktual.”
Retorika semangat membara, tapi miskin angka. Semangat berproduksi, tapi tak jelas siapa yang dimaksud harus berproduksi. Jangan-jangan bupati mencium bau yang keluar dari ketiaknya sendiri.
Pertanyaan Rakyat yang Gagal Dijawab
Mari kita bantu Pak Bupati menyusun ulang logikanya.
Pertanyaannya sederhana:
Sebab rakyat sudah mulai bingung, ini kepala daerah atau komentator kompetisi rokok ilegal?
Berapa kali bupati kunjungan ke tempat produksi rokok?
Berapa PR di Sumenep yang tidak berproduksi?
Berapa PR yang aktif menebus pita cukai tiap bulan?
Berapa PR yang layak diberi sanksi karena fiktif?
Dan yang paling penting: Apakah Pak Bupati pernah turun langsung? Sidak? Inspeksi? Atau minimal kirim petugas untuk mengecek keberadaan fisik PR-PR yang kata bupati fiktif.
Kalau jawabannya “belum”, maka kita paham: pernyataan Bupati tidak lain adalah teka-teki tanpa niat menemukan jawabannya.
Baca juga: Zakat Jalan, Transparansi Ngumpet. Apa Ini yang Disebut Ibadah Sosial?
Atau lebih tepatnya, teka-teki yang jawabannya sudah diketahui, tapi pura-pura disimpan demi kepentingan yang tak ingin dibuka.
Bupati Seperti Juri Baru di Kolam Rokok Madura?
Rakyat mulai curiga. Di balik sikap seolah tegas dan pro-investasi itu, jangan-jangan tersimpan niat yang lebih dalam.
Menguasai pintu izin. Sebab faktanya, banyak pelaku industri kecil menengah di sektor tembakau justru merasa izin makin lama, makin mahal, dan makin ribet. “Apa penting saya buka siapa menerima apa?”
Kalaupun diurus, tak keluar kalau tak “menghadap”. Maka masyarakat berbisik, bahkan mulai berani berkata di ruang publik.
“Pak Bupati jangan-jangan nunggu orang sowan dulu baru izin diteken.”
Ini bukan suudzon. Tapi curiga yang lahir dari pengalaman kolektif para pelaku usaha lokal yang merasa seperti pemain catur. Hanya boleh melangkah jika diperintah.
Dan lucunya, ketika PR-PR ini dipertanyakan keabsahannya oleh masyarakat, justru Pak Bupati yang sibuk jadi komentator, bukannya jadi pengendali kebijakan berbasis data.
Jangan-jangan, Pak Bupati bukan lagi pemimpin daerah, tapi ingin juga jadi juri di kolam industri rokok Madura.
Menentukan siapa boleh hidup, siapa boleh jalan di tempat. Bukan berdasarkan evaluasi objektif, tapi berdasarkan seberapa dekat anda dengan lingkaran kekuasaan.
Empat Tahun Kemudahan, Hasilnya Apa?
Bupati dengan bangga menyebut bahwa selama empat tahun ini, pemerintah sudah memberikan kemudahan perizinan. Tapi rakyat bertanya.
“Kalau memang mudah, kenapa banyak PR mandek?
Kenapa petani tembakau masih menangis?
Kenapa peredaran pita cukai justru menguatkan aroma monopoli?”
Jawabannya mungkin sederhana: kemudahan hanya berlaku bagi yang “paham jalur”. Atau kemudahan hanya didapat hanya bagi pengusaha terdekat.
Sementara rakyat kecil hanya jadi penonton, atau malah alat tempel dalam dokumen-dokumen fiktif yang disusun dengan sangat rapi tapi tak pernah menyentuh produksi riil.
Baca juga: Zakat Jalan, Transparansi Ngumpet. Apa Ini yang Disebut Ibadah Sosial?
Kemiskinan memang selalu dijadikan alasan, tapi dalam praktiknya, kemiskinan justru dipelihara agar tetap bisa dijadikan narasi.
Program pengentasan hanya jadi pemanis laporan, bukan pengubah nasib.
Rakyat Tak Butuh Basa-Basi
Maka, pesan rakyat kepada Pak Bupati sederhana saja:
“Pak Bupati, jangan banyak basa-basi. Jangan jadi juru bicara industri yang Bapak sendiri “tak paham isinya.” atau pura-pura tak mendengar “aroma di ketiaknya.”
Kalau memang ingin membela industri rokok lokal, mulai dari mana data itu disusun. Sidaklah ke PR yang diduga fiktif.
Tanyakan langsung ke petani dan buruh linting di desa. Jangan puas hanya mendengar bisikan dari ruang-ruang pendingin tempat para pemilik modal membungkus kepentingannya dengan kata “investasi”.
Karena ketika rakyat bicara, mereka bicara dengan kenyataan. Sementara Bupati bicara dengan nada pidato berdasar pada dokumen “kata wartawan dan kata LSM.”
Pemimpin Bukan Pendongeng
Rakyat Madura, khususnya Sumenep, sudah lelah dijadikan komoditas janji.
Petani tembakau ingin harga yang pasti, bukan sekadar wacana. Buruh linting ingin jaminan kerja, bukan sandiwara audit.
Dan para pengusaha rokok kecil ingin pemerintah yang adil, bukan pemerintah yang hanya membuka pintu untuk yang membawa amplop tebal.
Jika Pak Bupati sungguh peduli, maka selidiki dulu siapa yang bermain di balik PR-PR fiktif itu.
Jangan hanya mengimbau produksi, tapi lindungi yang benar-benar memproduksi. Karena kalau tidak, rakyat akan menilai:
bupati bukan sedang membela rakyat, tapi sedang mencari posisi nyaman di tengah kolam rokok yang airnya makin keruh.
Penulis adalah Fauzi As, pengamat kebijakan publik.