
Bogor, JNN.co.id – Lantunan Kidung Jawa dan denting suara gamelan berpadu dengan aroma dupa saat berlangsung upacara pembukaan acara “Kebangkitan Budaya Spritual Nusantara” di Bogor, 1-2 November 2025.
Acara yang bertujuan untuk menggugah kesadaran luhur melalui pelestarian budaya spritual ini diselenggarakan oleh Sastrajendra Living Academy (SLA) di lingkungan yang benar-benar alami dan berudara sejuk di Kilometer 6 Dusun Ciburial, Desa Cinangmeng, Kecamatan Tenjolaya, Kabupaten Bogor.
Prosesi pembukaan dimulai dengan ritual penyucian diri dan lingkungan, simbol penyatuan antara manusia dan alam semesta. Kidung Jawa, tari gambyong dan tembang Sunda membuat acara berlangsung khidmat.

“Saya beruntung bisa mengikuti acara ini. Acara seperti ini di tengah derasnya arus modernisasi dan globalisasi sungguh amat langka. Saya berharap acara seperti ini bisa diadakan lagi, bisa di tempat lain, agar kearifan lokal budaya spritual bangsa ini tetap bisa dilestarikan,” tutur Hernowo Kristanto, budayawan asal Bogor.
Kegiatan ini diikuti tokoh-tokoh budaya, pegiat spritualis, akademisi dan komunitas pelestari tradisi warisan leluhur.
“Budaya spiritual Nusantara adalah jantung peradaban bangsa ini. Ini bukan sekadar ritual, tetapi laku hidup. Cara manusia menyadari dirinya sebagai bagian dari alam semesta,” ujar Siroth Suhartini, konsultan spiritual.
Siroth Suhartini adalah juga pemilik Ciburial Forest Park, yang digunakan untuk acara Kebangkitan Budaya Spiritual Nusantara yang digagas oleh Sastrajendra Living Academy.
Ketua Sastrajendra Living Academy, Dr. dr. Bambang Dwi Hayunanto menjelaskan, kegiatan ini bukan sekadar kegiatan budaya, melainkan upaya membangun mental spritual untuk mengembalikan kesadaran manusia pada nilai keseimbangan, kasih dan kearifan yang menjadi dasar kehidupan bangsa Indonesia.
Dalam sambutannya saat membuka acara ini, Dokter Bambang Dwi Hayunanto menekankan pentingnya integrasi antara ilmu pengetahuan modern dengan nilai-nilai spiritual Nusantara.
“Spiritualitas bukan hal yang terpisah dari kehidupan ilmiah, melainkan fondasi kesadaran yang menuntun manusia untuk memahami hakikat dirinya dan tanggung jawab sosialnya. Pemahaman spiritual yang berakar pada budaya dapat menjadi dasar kesehatan jiwa dan ketahanan bangsa, ” ujarnya.
Selama dua hari peserta mengikuti berbagai kegiatan, seperti meditasi, pembelajaran aksara dan simbol spiritual budaya hingga refleksi batin dengan bimbingan maestro spiritual.
Sesepuh Sastrajendra Living Academy, Romo Toni Junus, mengatakan: “Kita perlu kembali pada akar kebijaksanaan lokal tanpa menolak kemajuan. (Karena) Modernitas yang kehilangan spiritualitas hanya akan melahirkan kehampaan.”
Sebagai bagian dari upaya menghidupkan nilai-nilai spiritual dalam budaya lokal, dipersembahkan Tari Tarawangsa Cinangmeng.
Tarian ini adalah salah satu kesenian Sunda yang sakral. Tarian ini menggambarkan hubungan manusia dengan alam serta kekuatan adikodrati yang menghidupkan jagat.
Iringan musik yang lembut dan doa yang bergetar di udara malam, para peserta yang ikut acara ini seolah diajak menyelami keheningan, keagungan dan kesadaran budaya Nusantara.
Udara Ciburial yang sejuk, lingkungan alam yang masih asri serta suara gemericik air sungai yang mengalir di sekitar lokasi acara seolah menjadi simbol persatuan batin bangsa. Sebuah gerakan yang menggambarkan upaya membangun spiritualitas kolektif, menghapus sekat perbedaan untuk menandai kebangkitan kesadaran bersama menuju masa depan yang berakar pada kasih universal yang bersumber dari kearifan budaya nenek moyang bangsa Nusantara.
Prosesi di Ciburial Bogor ini merupakan kelanjutan acara Kebangkitan Budaya Spiritualitas Nusantara yang digelar di Puspa Budaya Ciputat Jakarta tahun 2023.
Bedanya, kegiatan di Ciburial Bogor seolah menegaskan bahwa kekuatan sejati Nusantara tidak hanya terletak pada sumber daya alam dan ekonomi, tetapi perlu juga adanya kedalaman batin serta keluhuran budi. Itu bisa dicapai jika ada kesadaran bangsa bahwa perlu adanya keseimbangan hubungan antara manusia dengan alam.
“Kebangkitan spiritual bukan sekadar mengenang masa lalu, tetapi menanamkan kesadaran baru tentang siapa kita dan ke mana arah bangsa ini ke depan,” tegas Siroth Suhartini. (Yami Wahyono)








