Kasus Kekerasan Terhadap Jurnalis Ambarita di Bekasi: Tindakan Brutal yang Mengancam Kebebasan Pers

0
275

Bekasi, JNN.co.id – Kasus kekerasan terhadap jurnalis kembali mencuat, kali ini menimpa Jurnalis Ambarita yang sedang melakukan investigasi terkait dugaan peredaran makanan kedaluwarsa di wilayah Desa Mangunjaya, Kecamatan Tambun Selatan, Kabupaten Bekasi, Jawa Barat, pada Jumat, 26 September 2025.

Peristiwa ini terjadi sekitar pukul 15.30 WIB. Menurut informasi yang dihimpun, Ambarita tiba di lokasi untuk melakukan peliputan dan mulai mendokumentasikan situasi dengan video serta foto. Namun, tiba-tiba sejumlah orang di tempat tersebut memojokkan dirinya. Tak hanya intimidasi, Ambarita juga menjadi korban pengeroyokan. Dalam insiden itu, telepon genggamnya dirampas, menyebabkan seluruh data liputan dan dokumentasi yang tersimpan di dalam perangkat tersebut hilang.

Lebih parah lagi, aksi perundungan terhadap Ambarita berlanjut. Beberapa bukti foto menunjukkan kondisi fisiknya, termasuk luka dan bengkak pada bagian mata, yang memerlukan perawatan medis.

Kasus ini menambah daftar kelam mengenai kebebasan pers di Indonesia. Tindakan kekerasan dan perampasan alat kerja jurnalis dianggap melanggar hukum dan mengancam hak publik atas informasi.

Hingga saat ini, belum ada keterangan resmi dari pihak kepolisian mengenai identitas pelaku atau tindak lanjut laporan kasus tersebut. Kalangan pegiat pers mendesak aparat untuk segera mengusut kejadian ini dan menjamin perlindungan bagi jurnalis yang menjalankan tugasnya di lapangan.

Ketua Umum Persatuan Pewarta Warga Indonesia (PPWI), Wilson Lalengke, S.Pd., M.Sc., MA., mengecam keras tindakan kekerasan terhadap Jurnalis Ambarita. Ia menegaskan bahwa peristiwa ini bukan hanya serangan terhadap individu, tetapi juga terhadap kebebasan pers dan hak publik untuk memperoleh informasi.

“Ini adalah bentuk kriminalitas yang sangat serius. Jurnalis Ambarita sedang menjalankan tugasnya sebagai kontrol sosial, namun justru dihalangi dengan cara-cara brutal,” tegas Wilson, alumni Program Pendidikan Reguler Angkatan (PPRA) 48 Lemhannas RI tahun 2012.

Wilson menilai maraknya kasus kekerasan terhadap jurnalis menunjukkan lemahnya komitmen aparat dalam memberikan perlindungan hukum bagi pekerja media. Ia mendesak pihak kepolisian untuk segera mengusut tuntas kasus ini, menangkap para pelaku, serta mengembalikan hak-hak Jurnalis Ambarita.

“Negara wajib hadir melindungi warganya, apalagi jurnalis yang bekerja untuk kepentingan masyarakat luas. Jika aparat lamban atau bahkan abai, maka ini akan menjadi preseden buruk dan mengundang terulangnya kasus serupa di masa depan,” tambahnya.

Wilson juga mengingatkan bahwa UU Pers Nomor 40 Tahun 1999 secara tegas menjamin kemerdekaan pers. Ia mengajak seluruh organisasi jurnalis, pegiat media, dan masyarakat sipil untuk bersatu melawan segala bentuk kekerasan yang mengancam kebebasan pers.

“PPWI berdiri bersama Ambarita dan semua jurnalis Indonesia yang berjuang di garis depan. Kekerasan tidak boleh menjadi senjata untuk membungkam kebenaran,” pungkas Wilson.

Peristiwa pengeroyokan dan perampasan alat kerja yang dialami Jurnalis Ambarita memiliki implikasi hukum yang serius. Berdasarkan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), tindakan para pelaku dapat dijerat dengan beberapa pasal, antara lain:

Pasal 351 KUHP tentang penganiayaan, dengan ancaman pidana penjara hingga 5 tahun.
Pasal 170 KUHP tentang pengeroyokan, dengan ancaman pidana penjara hingga 7 tahun.
Pasal 365 KUHP tentang perampasan atau pencurian dengan kekerasan, dengan ancaman pidana penjara maksimal 9 tahun.

Selain itu, kasus ini berkaitan erat dengan Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers. Dalam Pasal 8 UU Pers disebutkan bahwa “Dalam melaksanakan profesinya, wartawan mendapat perlindungan hukum.” Artinya, segala bentuk intimidasi, kekerasan, maupun perampasan alat kerja jurnalis dapat dianggap sebagai pelanggaran terhadap kemerdekaan pers.

Para pakar hukum pers menegaskan bahwa setiap tindakan yang menghalangi kerja jurnalistik dapat dijerat dengan Pasal 18 ayat (1) UU Pers, yang menyatakan bahwa barang siapa yang dengan sengaja melakukan tindakan yang berakibat menghambat atau menghalangi pelaksanaan ketentuan Pasal 4 ayat (2) dan ayat (3) dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 tahun atau denda paling banyak Rp500 juta.

Dengan demikian, para pelaku tidak hanya dapat diproses melalui KUHP, tetapi juga melalui UU Pers sebagai lex specialis yang memberikan jaminan perlindungan khusus bagi wartawan.(Zai)

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here