Umroh Kebangsaan BAPERA 2025, Ziarah Ruhani dan Nasionalisme dari Tanah Suci

0
168

Mekkah, JNN.co.id – ( 2025 ) Dalam sejarah perjalanan bangsa, terdapat momen-momen kecil yang tak sekadar monumental, namun transendental. Saat tubuh melangkah ke Tanah Suci, jiwa pun menunduk di hadapan Yang Maha Menyaksikan. Maka ketika Barisan Pemuda Nusantara (BAPERA) yang di komandoi langsung H. Fahd El Fouz A Rafiq memberangkatkan kloter pertama Program Umrah Kebangsaan tahun 2025, tak sekadar tubuh-tubuh yang mengarah ke Ka’bah, melainkan ruh-ruh kebangsaan yang berpindah dari ruang retorika ke ruang spiritualitas.

Kloter pertama ini terdiri dari 40 jiwa. Mereka bukan politisi elite, bukan pula pemilik gelar panjang atau pemodal besar. Mereka adalah kader akar rumput, para pekerja senyap di garis depan gerakan BAPERA. Wajah-wajah lelah mereka adalah lembaran kitab perjuangan yang tidak pernah dibaca di ruang-ruang istana, namun disimpan dalam catatan langit.

Program umrah gratis ini bukan sekadar perjalanan ibadah, tapi sebuah simbol penghargaan atas peluh dan kesetiaan terhadap gerakan. Dalam masyarakat yang sering kali hanya menghafal hierarki dan melupakan dedikasi, BAPERA menjungkirbalikkan norma. Mereka yang berjasa, bukan hanya mereka yang bersuara, tetapi mereka yang bekerja.

Di balik angka “1000” orang yang akan diberangkatkan sepanjang 2025, tersembunyi narasi filosofis tentang bagaimana gerakan sosial dapat menjadi jembatan spiritual. Tidak ada keberhasilan politik yang sahih jika tidak melibatkan keadilan batin. Maka, umrah ini adalah bentuk lain dari rekonsiliasi diri dengan Tuhan, bangsa, negara dan sesama pejuang.

Sejarah pemuda Indonesia memang penuh dengan darah dan cita. Dari pergerakan Boedi Oetomo, Sumpah Pemuda 1928, hingga Reformasi 1998 semuanya bermula dari kegelisahan dan semangat perubahan. Kini, BAPERA menempatkan kembali pemuda dalam narasi agung, bukan hanya sebagai alat politik, tetapi sebagai peziarah nilai.

Mekkah bukan hanya tanah suci, tapi juga tanah sejarah. Di kota inilah Nabi Ibrahim mematahkan simbol penindasan. Di lembah inilah Nabi Muhammad SAW memulai revolusi spiritual dan sosial yang mengguncang dua pertiga dunia. Kini, dari berbagai pelosok Indonesia, 40 kader BAPERA menginjakkan kaki di tempat yang sama, membawa beban bangsa dan harapan rakyat.

Ada yang berasal dari pesisir Aceh, ada pula dari lereng Merbabu, dari Sulawesi hingga Papua. Dalam perbedaan suku, bahasa, dan pengalaman hidup, mereka dipersatukan oleh satu misi yakni menautkan kembali antara iman dan pengabdian. Umrah ini menjadi penanda bahwa nasionalisme tidak harus kaku, dan spiritualitas tidak harus terpisah dari keadilan sosial.

Dalam pengamatan langsung di lapangan, tampak betapa air mata mudah jatuh saat takbir menggema di Masjidil Haram. Seorang peserta dari Kalimantan Timur, dengan suara bergetar, berkata: “Saya bukan siapa-siapa, tapi hari ini saya merasa Tuhan sedang menyapa saya.” Kalimat itu menampar kita semua, bahwa penghormatan sejati tidak selalu datang dari sorotan kamera, tapi dari pengakuan batin yang tulus.

Program ini juga membuka ruang refleksi, apa arti menjadi kader dalam dunia yang semakin sibuk dengan pencitraan? BAPERA, dalam langkah ini, seperti hendak menjawab bahwa kader bukan sekadar angka dalam struktur organisasi, tetapi jiwa yang bergerak diam-diam membangun negeri, dari bawah, dengan sabar.

Secara filosofis, program ini menyentuh akar eksistensial manusia kebutuhan untuk diakui, dicintai, dan diberi kesempatan untuk mendekat kepada Tuhan. Dalam dunia yang penuh kompetisi dan eksklusi, BAPERA hadir menawarkan inklusi. Memberangkatkan orang-orang kecil ke tempat paling mulia di muka bumi, adalah bentuk kecil dari revolusi diam-diam.

Tidak berlebihan jika dikatakan bahwa umrah ini adalah bentuk diplomasi spiritual. BAPERA sedang menyampaikan pesan kepada bangsa bahwa gerakan sosial tidak harus selalu teriak-teriak, cukup tunjukkan dengan perbuatan. Karena kadang, cinta terhadap negeri tidak ditunjukkan lewat mimbar, tetapi lewat sujud.

Narasi ini tidak berdiri sendiri. Ia bertaut pada konteks besar seperti ketimpangan, krisis makna bernegara, dan penurunan kepercayaan publik terhadap lembaga-lembaga formal. Umrah Kebangsaan adalah bentuk rekonstruksi harapan bahwa masih ada gerakan yang memuliakan kontribusi, bukan sekadar koneksi.

Di tengah kegaduhan politik nasional, program ini seperti mata air di tengah padang pasir. Ia menyegarkan dan menenangkan. Bahkan para peserta mengaku baru kali ini merasa dihargai secara utuh sebagai manusia, bukan hanya sebagai alat politik. “Kami merasa diangkat derajatnya bukan oleh kekuasaan, tapi oleh rasa hormat,” ujar peserta dari NTB.

Narasi BAPERA ini juga bisa dibaca sebagai antitesis dari paradigma lama organisasi kepemudaan yang sering elitis. Umrah menjadi metafora dari pembersihan diri, pembersihan niat, dan pembersihan struktur. Sebuah revolusi sunyi yang lebih dalam dari sekadar perombakan struktural.

Ada makna kontemplatif dalam setiap langkah thawaf yang mereka lakukan. Seolah Ka’bah tidak hanya menjadi pusat rotasi spiritual, tapi juga pusat gravitasi nilai-nilai perjuangan. Di sana mereka merenung, bahwa perjuangan tidak pernah selesai, ia hanya berpindah bentuk dari jalanan ke sajadah.

Sebagai sebuah gerakan yang kini memproyeksikan peran nasional, BAPERA sedang membangun fondasi moralitas organisasi. Sebab organisasi tanpa nilai spiritual hanyalah mesin kosong, dan spiritualitas tanpa pengabdian hanyalah kesalehan individual yang hampa.
Pada akhirnya, perjalanan umrah ini menjadi refleksi kolektif bahwa kita adalah bangsa yang besar, tetapi sering melupakan orang-orang kecil yang membesarkannya. Kloter pertama ini adalah kloter penanda zaman. Sebuah zaman baru di mana pengabdian dilihat dengan mata batin, bukan hanya mata politik.

Jika benar bahwa bangsa besar adalah bangsa yang menghargai para pejuang sunyinya, maka BAPERA sedang mencatatkan sejarah kecil yang pantas dikenang dalam lembaran besar republik ini. Umrah mereka adalah umrah kebangsaan di mana cinta kepada Tuhan menyatu dengan cinta pada tanah air. Di sana, sujud tak hanya untuk Allah, tetapi juga untuk kemanusiaan dan menjunjung tinggi sila pertama PANCASILA yakni Ketuhanan Yang Maha Esa.

Dan kita, sebagai bangsa, seharusnya bertanya dalam perjalanan kita sebagai warga negara, sudahkah kita juga menjadi peziarah nilai?. (A.S.W)

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here