Oleh: Fauzi As,
Sumenep, JNN.co.id – Opini ini saya tulis sebagai orang yang pernah menjadi “Santri Surau Kecil.” Dari republik yang peraturannya sering kalah gesit dari baliho Bupati. Kisah tentang satu lembaga yang menarik untuk dibahas.
Bukan karena dipimpin oleh orang-orangnya Bupati, bukan pula karena kasus zakat yang pernah di korupsi.
Melainkan adanya kesan kewajiban bagi orang yang belum tentu berkewajiban. Bingung kan?
Mari kita urai pelan-pelan sebuah lembaga yang layak diberi penghargaan ini.
“BAZNAS Sumenep.” Lembaga yang belum jelas sepatunya merek apa. Ya karena Perda-nya belum tampak wujudnya namun sudah berhasil berlari kencang.
Sebuah lembaga yang membagikan zakat dan senyum ke berbagai sudut desa.
Tak ada yang benar-benar tahu kapan fondasi hukumnya berdiri. Entah belum di buat atau lupa diupload saja. Namun keberadaannya begitu aktif, seolah mendapat restu langsung dari langit birokrasi.
Ia hadir dalam acara-acara penyerahan bantuan, diapit pejabat dengan rompi safari, dan tentu saja, “diabadikan dalam sorotan kamera.”
Di Sumenep, niat baik lebih penting daripada landasan hukum. Di tempat lain, lembaga menunggu Perda.
Di sini, cukup dengan plakat, mikrofon, dan raut wajah ikhlas saat difoto.
Padahal, menurut UU No. 23 Tahun 2011 tentang Pengelolaan Zakat, keberadaan BAZNAS di tingkat daerah harus ditopang oleh Peraturan Daerah (Perda) yang menjadi dasar hukum operasionalnya.
Tapi Perda BAZNAS di Sumenep ini seperti makhluk mitologi lokal. Sering disebut, tapi tak pernah benar-benar terlihat.
Konon ada, tapi saat dicari di situs JDIH atau perpustakaan hukum daerah, yang muncul malah draf usang atau berita kegiatan safari ramadan.
Maka pertanyaan pun mencuat. Jika APBD digunakan untuk menyuntik dana ke lembaga ini, melalui regulasi apa disalurkan?
Apakah ada Perbup? SK bersama? Atau cukup rapat koordinasi yang disaksikan oleh doa pembuka dan penutup saja?
Lebih lucu lagi, dalam kegiatan-kegiatan tersebut, ASN didorong agar patuh bayar zakat. Tapi siapa yang benar-benar wajib?
Di mana edukasi dan transparansinya?
Mari kita simulasikan. ASN golongan I dengan gaji tak sampai tiga juta, setelah dikurangi kebutuhan pokok, jangankan zakat, untuk isi bensin dan bayar kontrakan saja sudah ngos-ngosan.
Menurut Kiai saya di pojok surau kecil, Zakat hanya wajib jika penghasilan bersih melebihi nisab, yakni setara 85 gram emas atau sekitar Rp8,5 juta per bulan.
Maka, ASN golongan I dan II belum tentu terkena kewajiban zakat. Kecuali mereka punya ladang di Lombok dan kontrakan atau lima pintu kos-kosan.
Golongan III mulai mendekati. Gaji pokoknya bisa 3-4 juta, ditambah tunjangan, bisa sampai 6-7 juta.
Tapi tetap, jika punya dua anak dan satu cicilan motor, maka zakat masih lebih sebagai anjuran daripada kewajiban.
Baru di golongan IV dengan jabatan eselon, tunjangan kinerja, dan akses ke ruang VIP, zakat mulai wajib.
Penghasilannya bisa dua digit, bahkan belasan juta. Zakat 2,5% dari sisa bersihnya adalah keharusan.
Tapi yang sering jadi pertanyaan, “apakah kesadaran itu datang dari edukasi syariat atau dari potongan otomatis sistem gaji?”
Namun kembali ke BAZNAS. Apapun level penghasilan ASN, semuanya digiring ke satu pintu: “bayar zakat lewat lembaga resmi.” Ini baik, tentu saja.
Tapi masalahnya bukan pada niat, melainkan kerangkanya. BAZNAS mengelola dana umat. Di dalamnya ada hak fakir miskin, ada kepentingan audit, ada hak jawab publik.
Tapi regulasi yang mengatur belum pernah dibuka ke publik secara formal dan utuh. Cukupkah hanya dengan “izin lisan dari atasan dan restu politis”?
Bandingkan dengan rakyat kecil yang ingin buka warung di pinggir jalan. Mereka harus punya IMB, NIB, surat domisili usaha, NPWP, dan jika perlu: akta notaris.
Tapi lembaga yang mengelola ratusan juta dana zakat, cukup dengan niat baik dan acara seremonial.
Zakat pun akhirnya terkesan menjadi panggung naratif, bukan sistem distribusi.
Setiap pemberian difoto, setiap penerimaan diliput. Warga miskin disyuting saat menunduk menerima sembako, sementara pejabat berdiri bangga dengan kalimat pembuka: “ini bentuk kepedulian kami terhadap masyarakat miskin.”
Kamera menangkap ekspresi haru. Netizen membagikan. Tapi tak ada yang bertanya, “mana Perdanya, Pak?”
Pujian demi pujian mengalir, bahkan sampai dibuat testimoni dan selebaran warna-warni. Tapi dokumen hukum yang seharusnya menjadi pondasi, entah tertinggal di laci, atau masih dalam tahap “kajian akademik”.
Mungkin disimpan untuk tahun politik. Mungkin pula, menunggu lelang percetakan.
Lucunya lagi, banyak ASN pun tak tahu apakah zakat mereka sudah sampai pada delapan golongan mustahiq atau hanya berhenti di meja panitia kegiatan.
Tak ada laporan keuangan terbuka. Tak ada dashboard daring yang bisa dilihat masyarakat.
Transparansi masih kalah dari desain spanduk kegiatan. Akhirnya, zakat yang seharusnya membersihkan harta, justru terjebak dalam lumpur birokrasi dan gemerlap narasi pencitraan.
Penerima bantuan jadi alat legitimasi, bukan subjek pemberdayaan. Dan Sumenep, kabupaten dengan tingkat kemiskinan tinggi, seakan ditenangkan dengan paket sembako dan slogan, bukan sistem dan keadilan sosial.
Tapi jangan salah. Ini bukan kritik pada niat. Ini hanya tamparan lembut pada carut-marut administrasi.
Karena niat baik tanpa aturan bisa berubah menjadi pembiasaan yang berbahaya.
Sumenep hari ini mengajarkan pada kita satu hal penting: Berjalan tanpa Kamera lebih buruk dari pada berjalan tanpa Perda.
Sebab spanduk, umbul-umbul, konten media sosial yang berisi sambutan bupati, lebih penting dari isi perut ASN yang gajinya telah habis dipotong angsuran.(R.**)