Cikarang Barat, JNN.co.id – Pengelolaan anggaran di Dinas Lingkungan Hidup (DLH) Kabupaten Bekasi kembali menjadi sorotan publik. Hasil investigasi media baru-baru ini mengungkap bahwa DLH diduga belum membayarkan tagihan pembelian BBM jenis Bio Solar bersubsidi untuk armada truk sampah selama tiga bulan berturut-turut: Juli, Agustus, dan September 2025.
Keterlambatan pembayaran ini menimbulkan pertanyaan serius mengenai integritas pengelolaan keuangan daerah, khususnya dalam belanja bahan bakar. Dalam perjanjian kerja sama antara DLH dan pihak SPBU, disebutkan bahwa pembayaran seharusnya dilakukan setiap bulan.
Asep, pengawas SPBU PT SMP, yang menjadi mitra penyedia BBM subsidi untuk enam wilayah UPTD DLH Kabupaten Bekasi, mengonfirmasi adanya keterlambatan tersebut. “Kesalahan ada di pihak DLH. Sesuai perjanjian, mereka wajib bayar setiap bulan. Namun, dari bulan Juli hingga September 2025, belum ada pembayaran sama sekali,” ujarnya saat dikonfirmasi oleh awak media pada Senin (22/9/2025).
Meskipun pasokan BBM Bio Solar tetap dilayani oleh pihak SPBU, kondisi ini menimbulkan risiko serius terhadap hubungan kerja sama dan kelangsungan layanan pengangkutan sampah di wilayah Kabupaten Bekasi. Keterlambatan ini terjadi di tengah temuan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) yang mencatat adanya kelebihan pembayaran sebesar Rp1,614 miliar dalam pengadaan BBM subsidi sepanjang tahun 2024.
Dalam Laporan Keuangan Pemerintah Daerah (LKPD) Tahun 2024, anggaran belanja bahan bakar dan pelumas sebesar Rp48,96 miliar telah direalisasikan sebesar Rp38,58 miliar (78,79%). Dari jumlah tersebut, DLH menyerap sekitar Rp26,49 miliar, termasuk Rp9,43 miliar untuk BBM subsidi armada truk sampah. Namun, BPK menemukan bahwa pengawasan internal dan dokumentasi pertanggungjawaban atas penggunaan BBM sangat lemah.
Temuan mencolok adalah bahwa dokumentasi pengisian BBM, seperti foto kendaraan, jumlah liter, dan informasi lokasi (geotagging), tidak dilengkapi sebagaimana mestinya oleh pengawas UPTD. Selain itu, sistem pelaporan tidak mengintegrasikan data transaksi aktual dari MyPertamina, meskipun barcode kendaraan sudah terdaftar.
BPK juga menyoroti bahwa sebagian besar dokumen penagihan dari SPBU diterbitkan berdasarkan voucher manual, bukan rekaman sistem digital. Hal ini membuka peluang terjadinya ketidaksesuaian data dan penyimpangan dalam pembayaran, yang berujung pada kelebihan bayar ratusan juta rupiah dari APBD.
BPK menyatakan bahwa kondisi ini tidak sesuai dengan Pasal 10 Ayat (1) PP Nomor 12 Tahun 2019 tentang Pengelolaan Keuangan Daerah. Dalam aturan tersebut, Kepala SKPD memiliki kewajiban mengawasi pelaksanaan anggaran secara menyeluruh dan akuntabel.
Sebagai tindak lanjut, BPK merekomendasikan agar Bupati Bekasi menginstruksikan Kepala DLH untuk lebih optimal dalam pengawasan anggaran, meningkatkan penggunaan sistem digital dalam pengendalian BBM, serta memerintahkan pengembalian kelebihan pembayaran sebesar Rp1,61 miliar ke kas daerah (RKUD) sesuai peraturan.
Rencana aksi tindak lanjut juga telah disusun oleh Pemerintah Kabupaten Bekasi, di mana Bupati berkomitmen untuk menyelesaikan temuan BPK dalam jangka waktu 60 hari setelah LHP diterima. Namun, hingga kini, pelaksanaan rekomendasi masih menjadi perhatian publik, mengingat belum adanya laporan penyelesaian dari pihak DLH.
Kasus ini mencerminkan pentingnya pengendalian internal dalam pengelolaan keuangan daerah, terutama dalam belanja rutin seperti BBM. Keterlambatan pembayaran dan lemahnya pengawasan bisa menjadi bom waktu yang merugikan publik, terutama jika berdampak pada layanan dasar seperti pengangkutan sampah.
Dengan anggaran besar dan mandat pelayanan publik, DLH dituntut untuk lebih transparan, akuntabel, dan profesional. Jika tidak segera dibenahi, praktik seperti ini berpotensi menurunkan kepercayaan masyarakat terhadap institusi pemerintah daerah dan membuka ruang bagi pelanggaran hukum yang lebih serius.(Zai)